Script

JavaScript Free Code

Sabtu, 11 Agustus 2012

I'tikaf


Gambar diambil dari : http://artikelassunnah.blogspot.com
Editor oleh : http://mutiara-hikmah.com/
I;tikaf mempunyai arti yang sangat dalm, baik dari segi makna maupun dari segi pengerjaannya. Pengertian I’tikaf secara bahasa adalah berdiam diri / tetap di atas sesuatu. Sedangkan pengertian i’tikaf secara syari’ah dalam agama islam berarti berdiam diri di dalam masjid sebagai salah satu dari rangkaian ibadah yang sangat dianjurkan dan atau disunnahkan untuk dilaksanakan / dikerjakan oleh setiap orang pada setiap waktu setelah selesai shalat dan akan lebih utama kemudian jika hal tersebut dilaksanakan dan atau dilakukan pada bulan suci Ramadhan, serta lebih dikhususkan lagi pada sepuluh hari yang terakhir sembari mengharap akan menemui datangnya malam Lailatul Qadr.

Dari segi hukumnya terdapat dua jenis iktikaf yang disyariatkan yakni i’tikaf sunat dan i’tikaf wajib.
Iktikaf sunnah adalah i’tikaf yang dilakukan oleh setiap hamba Allah secara sukarela / ikhlas semata – mata hanya untuk mendekatkan diri dengan mengharapkan ridha Allah SWT Sbhanahu Wata’ala seperti halnya iktikaf pada 10 hari akhir dibulan Ramadan.

Sedangkan Iktikaf wajib adalah i’tikaf yang dilakukan oleh karena seorang hamba telah bernazar ( berjanji ) misal : “karena sakit lantas berdo’a untuk memohon kesembuhan dengan nazar jikalau nantinya Allah Subhanahu Wata’ala menyembuhkan penyakit tersebut , maka akan melaksanakan i’tikaf selama sebulan penuh”

Waktu Iktikaf wajib adalah tergantung kepada berapa lama janji untuk melaksanakan pada waktu bernazdar,  sedangkan untuk iktikaf sunnah adalah tidak terdapat adanya batasan waktu yang tertentu, dengan kata lain kapan serta dimana saja baik dilaksanakan pada waktu malam atau siang hari serta dalam waktu lama ataupun singkat.

Imam IbnulQayyim Rahimahullaah mengatakan bahwasanya Kebaikan dari hati serta kelurusan hati dalam rangka berjalan menempuh jalan Allah subhanahu Wata’ala adalah tergantung kepada totalitas seseorang yang berbuat sesuatu hanya karena mengharap Ridha dari Allah Subhanahu Wata’ala dan hal tersebut kemudian dibarengi dengan niat secara total dengan tertuju hanya kepada Rahmat , Ampunan Dan Ridha Allah Subhanahu Wata’ala.

Hati yang telah tercerai berai tidaklah mudah untuk bisa disatukan kembali kecuali hanya dengan dan oleh mereka yang melangkah menuju Allah Azza wa Jalla karena sesungguhnya Allaah Subhanahu Wata’ala membatasi manusia itu dengan hatinya.

Berlebih – lebihan dalam rangka mengkonsumsi makanan, minuman, serta pergaulan dengan manusia terlebih lagi kemudian disertai dengan sebuah pembicaraan yang terlalu banyak menyimpang dari kepentingan agama dan juga berlebihan dalam memberi jatah istirahat / tidur, hanyalah akan menambah hati tercerai – beraian serta berserakan di setiap tempat dan kemudian pada akhirnyaakan memutus jalan seseorang dari dan menuju kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Atau dengan kata lain kemudian dapat melemahkan dan merintangi serta juga menghentikan seseorang dari mendekatkan diri / berhubungan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Adanya Hidayah, Rahmat serta Ridha Allah Subhanahu Wata’ala Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada setiap hamba – hamba – Nya sedikit banyak menuntut adanya syari’at untuk melaksanakan puasa kepada mereka yang hendak mendekatkan diri agar kiranya dapat kemudian menyingkirkan segala ketamakan didalam hati serta gejolak dari hawa nafsu yang dapat menjadi pintu penghalang dan atau perintang bagi setiap perjalanan menuju kepada  Allah Subhanahu Wata’ala.

Dia mensyari’atkan kepada setiap hamba Nya untuk berpuasa sesuai dengan kemaslahatan setiap diri yang mana hal tersebut nantinya akan dapat memberi suatu manfaat yang lebih kepada setiap hamba – hamba Nya baik di dunia maupun kelak di akhirat,  selain hal tersebut tidak akan mencelakakan dirinya serta tidak juga memutuskan dirinya baik dari segi kepentingan duniawi maupun ukhrawinya.

Allah Subhanahu Wata’ala juga memerintahkan untuk beri’tikaf kepada mereka (setiap hamba-Nya) dengan maksud agar dapat memberikan suatu keteguhan didalam hati setiap hamba hanya kepada Allah Subhanahu Wat’aala semata disertai kemantapan dan kebulatan hanya kepada – Nya, berkholwat hanya kepada – Nya,  dan memutuskan setiap kegiatan yang ada pada mereka dari setiap kesibukan dan atau perkara duniawi yang tidak bermanfaat serta lebih menyenangi dengan hanya berdzikir menyibukkan diri mereka untuk beribadah  kepada Allah Subhanahu Wat’aala semata.

Tempat Wanita Beriktikaf



gambar  dari : http://mutiara-hikmah.com
Ya... Alloh berilah kami pertolonganmu dibulan suci ini agar iman dan takwa dihati ini menjadi tebal karenamu.....amin








editor oleh : REPUBLIKA.CO.ID
Kaum wanita memiliki hak yang sama atau diperbolehkan untuk beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Hal itu telah dicontohkan oleh istri-istri Rasulullah SAW. Aisyah RA, istri Nabi mengatakan, bahwa Nabi SAW selalu beri'tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan sehingga Allah mewafatkan beliau. Setelah itu para istri beliau beri'tikaf sepeninggal beliau. (HR Bukhari).

Namun, menurut Al-Kubaisi, di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat tentang masjid yang menjadi tempat i'tikaf. ‘’Yang diperselisihkan, apakah masjid jami merupakan syarat mutlak bagi sahnya i'tikaf kaum wanita?’’ ujar Al-Kubaisi. Ada dua pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini.

Menurut pendapat pertama, dari jumhur ulama yang mengatakan, tidak sah i'tikaf seorang wanita bila tak dilakukan di dalam masjid jami. Ketentuan ini, sama dengan yang ditetapkan pada kaum laki-laki. Pendapat ini didukung oleh Imam Malik, Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal.

Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah, mengungkapkan, menurut mayoritas ulama tak sah bagi seorang perempuan yang ber i'tikaf di masjid (tempat shalat) yang berada di dalam rumah. ‘’Sebab tempat shalat di dalam rumah tak bisa disebut sebagai masjid,’’ ungkap ulama masyhur asal Mesir itu.    

Selain itu, kata dia, para ulama juga sepakat bahwa tempat shalat yang berada dalam rumah boleh dijual, sedangkan masjid tak boleh dijual. Menurut Sayyid Sabiq, dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa para istri Rasulullah ber i'tikaf di dalam Masjid Nabawi.

Dalil yang menjadi landasan pendapat pertama, seperti dikemukakan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni. ‘’Bagi kami (dalil untuk memperkuat pendapat tersebut) adalah firman Allah; wa antum aakifuna fil masaajidi,’’ ujar Ibnu Qudamah. Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan masjid adalah tempat mendirikan shalat. Sedangkan, tempat shalat di dalam rumah tak bisa disebut sebagai masjid.

Para istri Rasulullah juga meminta izin kepada beliau untuk ber i'tikaf di dalam masjid dan Nabi SAW mengizinkannya. Menurut Ibnu Qudamah, kalau masjid-masjid itu bukanlah tempat i'tikaf bagi wanita, pastilah Rasulullah SAW akan melarangnya. ‘’Atau paling tidak, bila ada tempat selain masjid yang paling baik bagi kaum wanita untuk ber i'tikaf, maka pastilah beliau menunjukkannya.’’

Menurut Ibnu Qudamah, dibolehkannya kaum wanita ber i'tikaf di dalam masjid, sebagaimana laki-laki, bisa disamakan dengan bolehnya melakukan thawaf di Baitullah, yang ketika itu antara keduanya diperlakukan sama.

Sedangkan, pendapat yang kedua justru memakruhkan wanita  ber i'tikaf di dalam masjid jami.  Hal itu didasarkan pada dua hadis. Hadis pertama dari Ibnu Umar yang diriwayatkan Abu Daud yang sanadnya sesui dengan persyaratan Bukhari. Rasulullah SAW bersabda, ‘’Janganlah kalian larang kaum wanita untuk pergi ke masjid, dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.’’

Menurut Al-Kubaisi, hadis di atas menjelaskan tentang lebih baiknya  bagi kaum wanita menjalankan shalat di (mushalla) rumah masing-masing. Tak ada bedanya melakukan shalat dengan i'tikaf. Sebab, kata dia, para fukaha telah sepakat membolehkan  wanita ber i'tikaf. Sehingga, bolehlah kaum wanita ber i'tikaf di dalam rumahnya. Hal itu sesuai dengan ucapan Rasulullah SAW, ‘’Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.’’

Dalil kedua, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad sesuai persyaratan Imam Muslim. Rasulullah SAW bersabda, ‘’Shalatnya seorang wanita di dalam rumahnya adalah lebih baik baginya ketimbang shalat di kamarnya, dan shalatnya pada ruangan tertentu dari bagian rumahnya adalah lebih baik baginya ketimbang shalat dalam rumahnya (yakni di ruang terbuka yang digunakan untuk lewat mondar-mandir).

Imam Malik berkata, ‘’Hadis itu dengan gamblang menjelaskan kepada kita bahwa pada prinsipnya, Rasulullah SAW menyatakan shalatnya kaum wanita pada bagian tertentu di dalam rumahnya  (mushalla dalam rumahnya) adalah paling baik dibandingkan shalat di tempat lain.’’

Analoginya,  kata Al-Kubaisi, jika shalat bagi kaum perempuan lebih utama dilakukan di dalam rumahnya, maka dalam i'tikaf juga berlaku demikian. Jadi, i'tikaf kaum wanita, menurut para ulama yang memegang pendapat kedua ini, lebih baik dilakukan  di dalam mushala rumahnya sendiri.

Kelompok mazhab Abu Hanifah justru malah menyatakan makruh hukumnya kaum wanita ber i'tikaf di dalam masjid. Maulana Muhammad Al-Kandahlawi dalam Fadhail Ramadhan juga mendukung pendapat kedua.  Menurut dia, hendaknya wanita ber i'tikaf di dalam mushalla di dalam rumahnya.

‘’Jika tak ada mushala di dalam rumah, hendaknya disediakan sebuah kamar atau sudut rumah yang khusus untuk i'tikaf,’’ ujar Al-Kandahlawi.  Dengan begitu, kata dia, i'tikaf bagi kaum perempuan lebih mudah dibandingkan laki-laki, karena mereka cukup duduk di rumahnya. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan rumah dapat dikerjakan oleh anak-anaknya dan ia akan tetap memperoleh pahala i'tikaf. Sayangnya, menurut Al-Kandahlawi, banyak di antara mereka yang tak mengamalkannya.

4 Perkara yang Membatalkan I'tikaf


gambar diambil dari : http://lifestyle.kompasiana.com
 

 Editor oleh : republika.co.id


 Empat hal dibawah ini adalah keterangan yang menunjukkan perkara yang membatalkan i;tikaf
 
1. Murtad. Menurut Al-Kubaisi i’tikaf akan menjadi batal karena murtad. Sebab, i’tikaf merupakan salah satu bentuk ibadah yang dilakukan seorang Muslim, sedangkan orang kafir bukan termasuk ahli ibadah. Allah SWT berfirman: ‘’… Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalanmu, dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.’’ (QS Az-Zumar: 65)

Menurut Al-Kubaisi, bila orang yang murtad itu kembali memeluk Islam, maka tak ada kewajiban untuk mengqadha i’tikafnya, sebagai kemudahan baginya agar lebih tertarik kepada Islam. ‘’Itulah pendapat mazhab Hanafi dan Maliki,’’ ujarnya.

Mazhab Syafi’i dan Hambali memiliki pendapat yang berbeda.  Bila i’tikaf yang dilakukannya adalah i’tikaf nazar, lalu orang tersebut murtad di antara waktu i’tikaf itu, maka batallah i’tikafnya. Namun, jika kembali masuk Islam, maka wajib mengqadhanya.  Mazhab Hambali berpendapat, i’tikaf seseorang mejadi batal jika orang tersebut murtad. Namun, jika kembali masuk Islam makaharus memulai i’tikaf dari pertama lagi dengan niat dan i’tikaf yang baru.

2. Bersetubuh. Para ulama sepakat bahwa bersetubuh dengan sengaja termasuk larangan bagi bagi orang yang sedang i’tikaf. Jika orang yang i’tikaf bersetubuh maka batallah i’tikafnya. ‘’Baik perbuatan (bersetubuh) itu  dilakukan di dalam ataupun di luar masjid, baik dilakukan pada siang maupun malam hari,’’ tutur Al-Kubaisi.

Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT: ‘’… dan janganlah kamu campuri mereka (istri-istri), sedang kamu ber i’tikaf dalam masjid..’’ (QS Al-baqarah [2]: 187). Menurut Al-Kubaisi, jika melihat asbabul nuzulnya, ayat tersebut merupakan teguran Allah bagi mereka yang sedang i’tikaf, tapi masih suka keluar masjid dan menggauli istrinya.

3. Haid. Seluruh ulama mazhab bersepakat bahwa haid membatalkan i’tikaf. Seorang wanita yang sedang i’tikaf di dalam masjid lalu mengalami haid, maka harus keluar dari masjid. Kemudian menetap di rumahnya hingga haidnya selesai. ‘’Setelah itu bisa kembali ke masjid dan melanjutkan i’tikafnya,’’ papar Al-Kubaisi.
Batalnya i’tikaf karena haid disebabkan haid adalah salah satu penyebab dilarangnya seseorang mentap di dalam masjid. Hal itu didasarkan pada hadis Rasulullah SAW, ‘’Tidaklah masjid itu dihalalkan bagi wanita yang haid, dan tidak pula bagi yang dalam keadaan junub.’’

Meski begitu ada pula yang berpendapat berbeda. Ahli zhaahir (mereka yang tak sepakat dengan mayoritas ulama) menyatakan wanita haid boleh memasuki masjid dan menetap di dalamnya hingga menyelesaikan masa i’tikafnya. Menurut pandangan mereka haid bukan penyebab batalnya i’tikaf.

4. Keluar dari tempat i’tikaf.  Para ulama sepakat bahwa orang yang beranjak dari tempat i’tikaf dan keluar dari tempat i’tikaf bukan karena sebab-sebab darurat, maka batallah i’tikafnya.

3 Perkara yang Makruh Dilakukan Saat I'tikaf Ramadhan


gambar diambil dari : http://mantrijeron.blogspot.com


Editor oleh : republika.co.id
Makru dalam i'tikaf merupakan salah satru hal yang semestinya kita hindari. Menurut Sayyid Sabiq, orang yang sedang i’tikaf makruh melakukan hal-hal yang tak bermanfaat, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Rasulullah SAW bersabda, ‘’Di antara baiknya keislaman sesorang adalah meninggalkan sesuatu yang tak berguna baginya.’’ (HR Tirmidzi). Lalu apa saja perkara yang dimakruhkan saat beri’tikaf?
1. Membisu. Menurut Al-Kubaisi, diam atau membisu atau tak berbicara saat i’tikaf adalah perkara yang makruh, apabila ia berkeyakinan bahwa hal itu juga merupakan bagian dari ibadah. Abdullah ibnu Abbas RA berkata, ‘’Bahwa Rasulullah telah melarang orang yang bernazar untuk berdiri di tengah terik matahari dan tak berkata apa-apa, serta shaum tanpa berteduh. Beliau memerintahkan agar segera duduk, berteduh, serta berbicara.’’ (HR Bukhari).
Abu Bakar Shiddiq pernah menegur seorang wanita bernama Zainab karena membisu. Wanita itu sengaja membisu dalam semedinya. ‘’Bicaralah, karena sesungguhnya yang demikian itu tak boleh,’’ ujar Abu Bakar. Kemudian, wanita itu pun berbicara.
Abu Hurairah RA berkata, ‘’Sungguh Rasulullah SAW telah melarang puasa wishal (puasa tak sahur dan tak buka selama beberapa hari) serta puasa ash-shamt  (puasa membisu tak mau bicara).’’

2. Berbisnis atau Kegiatan Ekonomi.  Menurut Al-Kubaisi, berbisnis atau menyibukan diri dengan pekerjaan yang mendapat imbalan uang, hukumnya makruh bagi orang yang beri’tikaf . Namun jual-beli itu termasuk yang harus dilakukan, maka tidak makruh.

3. Mengucapkan kata-kata  yang mengandung dosa. Mengucapkan kata-kata yang mengandung dosa, seperti mengumpat, mengutuk, debat kusir dan membual adalah hal yang terlarang bagi setiap Muslim. Terlebih jika dilakukan pada saat i’tikaf. Seorang yang sedang i’tikaf juga dilarang membalas umpatan orang. Rasulullah SAW bersabda, ‘’Jika diumpat oleh seseorang, maka hendaknya berkata ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa’.’’ (HR Riwayat Bukhari Muslim).

5 Amalan yang Dianjurkan Saat I'tikaf

Gambar dipublikasikan oleh : http://ramadhan.republika.co.id
Umat islam palestina menunaikan shalat jumat berjamaah di komplek Masjid AL Aqsa,Yerusalem

 Editor oleh : republika.co.id




I’tikaf hendaknya diisi dengan berbagai ibadah kepada Allah SWT.  Berikut ini amalan-amalan yang mustahab (disukai) dalam i’tikaf:
1.    Shalat. Memperbanyak shalat saat i’tikaf amat dianjurkan. Sebab, shalat merupakan seutama-utamanya ibadah dan paling besar pahalanya. ‘’Shalat merupakan hubungan langsung antardua pihak, yakni seorang hamba dengan Khaliknya. Terlebih, shalat adalah tiang agama dan rukun Islam yang paling utama,’’ ujar Al-Kubaisi.
2.    Memperbanyak membaca Alquran.  Dengan membaca Alquran hati akan menjadi tenang dan jiwa menjadi tentram. Terlebih, pahala membaca Alquran juga amat besar. Orang banyak membaca Alquran mandapat jaminan untuk mendapatkan syafaat di hari akhir kelak. Rasulullah SAW bersabda, ‘’Bacalah oleh kalian Alquran. Karena sesungguhnya Alquran itu akan datang menghampiri kalian di hari kiamat sebagai syafaat.’’ (HR Muslim).
3.    Memperbanyak Zikir. Orang yang i’tikaf dianjurkan untuk memperbanyak zikir. Tentu saja, yang diutamakan adalah amalan-amalan yang disyariatkan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW, seperti: bertasbih, takmid, tahlil, istighfar, dan sebagainya.  Menurut para ulama, zikir merupakan salah satu ibadah khusus untuk bertaqarub kepada Allah SWT. Sesungguhnya, menyibukkan diri saat i’tikaf dengan berzikir akan mendapat pahala yang besar.
Allah SWT berfirman, ‘’Karena itu ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku akan ingat kepadamu; bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.’’ (QS Al-Baqarah [2]: 152).
4.      Bershalawat. Amalan lainnya yang dianjurkan bagi orang yang beri’tikaf adalah memperbanyak shalawat kepada Rasulullah SAW. Allah SWT telah memerintahkan kepada kita untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Bershalawat menjadi salah satu sebab turunnya rahmat Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, ‘’Siapa saja yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah memberinya rahmat sepuluh.’’ (HR Muslim).
5.  Mengurangi hubungan dengan orang banyak. Pada saat i’tikaf dianjurkan untuk mengurangi hubungan dengan orang banyak. Bahka, kata para ulama, lebih disukai, jika i’tikaf telah selesai, kita berdiam diri pada malam menjelang Idul Fitri. Kemudian, keesokan harinya keluar dari masjid tempat i’tikaf menuju tempat shalat Idul Fitri. Dengan demikian, kita telah menyambung dari satu ibadah ke ibadah yang lainnya.
Rasulullah SAW bersabda, ‘’Barangsiapa bangun (untuk beribadah) pada dua malam Ied dengan mengharapkan pahala dari Allah, maka Allah tidak akan mematikan hatinya pada saat dimatikannya semua hati.''

Jumat, 10 Agustus 2012

Tanda-tanda Kemunculan Lailatul Qadar


Publikasi gambar oleh : http://www.moonconnection.com



 REPUBLIKA.CO.ID, ''Lailatul Qadar telah dikaruniakan kepada umat ini (umatku) yang tak diberikan kepada umat-umat sebelumnya.'' (Al-Hadis).


 Editor oleh : republka.co.id
Suatu hari, dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW berkisah kepada para sahabat tentang seorang seorang yang saleh dari Bani Israil. Orang tersebut menghabiskan waktunya selama 1.000 bulan  untuk berjihad fi sabilillah. Mendengar kisah itu, para sahabat merasa iri, karena tak bisa memiliki kesempatan untuk beribadah selama itu.
Usia umat Nabi Muhammad SAW memang lebih pendek dari umat terdahulu. Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah merenungi hal itu. Nabi SAW pun bersedih, karena mustahil umatnya dapat menandingi amal ibadah umat-umat terdahulu.
''Dengan penuh kasih sayang yang tak terhingga, Allah SWT lalu mengaruniakan Lailatul Qadar kepada umat Nabi Muhammad SAW,'' ungkap Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi dalam kitab Fadha'il Ramadhan. Menurutnya,  Lailatul Qadar adalah suatu malam karunia Allah yang sangat besar kebaikan dan keberkahannya.
Lalu apa sebenarnya Lailatul Qadar itu?  Dr HM Muchlis Hanafi,  pakar tafsir dari Universitas Al Azhar Mesir, mengungkapkan, Lailatul Qadar berarti malam yang penuh dengan kemuliaan. Pada malam itu, kata dia,  diturunkan Alquran yang memiliki kemuliaan, melalui seorang malaikat yang juga sangat mulia dan diterima seorang nabi yang juga sangat mulia.
''Qadar juga  bisa bermakna ukuran. Ukuran segala sesuatu itu ditetapkan pada malam itu, rezeki seseorang, apakah dia bahagia atau tidak? Sampai setahun ke depan ditetapkan pada malam itu,'' tutur Dewan Pakar Pusat Studi Alquran (PSQ) itu.
Menurut Muchlis, Lailatul Qadar memiliki sejumlah keistimewaan. Betapa tidak. Pada malam itu, Alquran diturunkan. Selain itu, Lailatul Qadar itu lebih baik dari 1.000 bulan. Pada malam itu, kata dia,  para malaikat dan Ar-ruh (yang dimaksud adalah Malaikat Jibril) turun ke bumi.
''Para malaikat itu turun dengan membawa rahmat dan keberkahan,'' ujarnya. Yang tak kalah penting, malam yang istimewa itu membawa kedamaian, rasa aman kepada siapa saja yang menjumpainya sampai terbit fajar.
Dalam sebuah riwayat, papar dia,  yang dimaksud fajar adalah terbit fajar di keesokan harinya. Tapi hatta mathla'il fajr, berarti sampai tiba saatnya fajar kehidupannya yang baru di akhirat nanti.
Lalu adakah ciri-ciri akan datangnya Lailatul Qadar? Menurut Muchlis, tanda-tanda fisik seperti yang populer di kalangan masyarakat bahwa malam itu tenang, angin sepoi-sepoi, kemudian matahari di keesokan harinya berawan dan tidak terlalu panas, riwayat-riwayatnya tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.
''Tanda-tanda fisik semacam itu secara logika, juga sulit diterima. Karena, sangat relatif, tergantung musim. Kalau musim hujan, ya,  pasti mendung, apalagi dengan perubahan iklim sekarang. Jadi, tanda-tanda fisik itu tidak bisa dijadikan ukuran. Tanda yang pasti adalah salaamun hiya hatta mathla'il fajr,'' paparnya.
Yang pasti, kata dia,  salah satu tanda yang pasti dari Lailatul Qadar adalah  orang selalu merasa damai,  selalu menebar kedamaian dalam hidupnya sampai dia meninggal dunia bahkan sampai dibangkitkan kembali menyongsong fajar kehidupan yang baru.
Tak ada seorang pun yang tahu kapan tamu agung itu akan datang. Hanya Allah SWT yang mengetahui kapan malam yang lebih baik dari 1.000 bulan itu akan menghampiri hambanya. Terlebih, sebagai tamu agung, Lailatul Qadar hanya dianugerahkan kepada orang-orang yang mendapat taufik dan beramal saleh pada malam itu.  Mengapa begitu? Supaya kita semakin giat mencarinya sepanjang hari, khususnya pada malam-malam sepuluh terakhir Ramadhan.
Prof Nasaruddin Umar, menambahkan Lailatul qadar itu memiliki banyak makna. Menurut dia, Lailatul Qadar bisa diartikan secara fisik bahwa betul-betul memang malam itu ada sesuatu yang istimewa.
Menurut dia, pada malam itu Malaikat turun berbendong-bondong sangat luar biasa dan hanya detik itu, menit itu atau jam itu. Adalagi yang memaknai lailatul qadar simbolis sesungguhnya. Laila artinya malam, malam bisa berarti keheningan, kesyahduan, kepasrahan, tawakal, kerinduan, kehangatan, termasuk juga kekhusyukan.
Sebagaimana banyak dijelaskan dalam berbagai buku sejarah, termasuk Sirah Nabawiyyah, Lailatul Qadar itu hanya terjadi sekali dalam setahun, yakni hanya pada bulan Ramadhan. Dan itupun, waktunya tidak ditentukan. Ada yang berpendapat, terjadi di malam ganjil pada sepuluh malam terakhir Ramadhan.
Pakar hadis, Dr Lutfi Fathullah MA mengungkapkan, karena begitu mulianya Laailatul Qadar, Rasulullah saw mengajak seluruh sahabatnya, istri-istrinya sampai kepada pembantu-pembantunya untuk memperbanyak ibadah.  Karena itu, ketika istri-istri Rasulullah diminta untuk mencari Lailatul Qadar, Aisyah RA  berkata, Ya Rasulullah bagaimana kalau saya yang mendapatkan? Apa yang harus saya baca? Minta rumah, minta kekayaan atau minta yang lainnya?
Rasulullah mengajarkan bacalah,  ''Allahumma innaka afuwwun karim tuhibbul afwa fa'fu anni (Ya Allah Engkalau Yang Maha Pengampun Lagi Maha Pemurah, Engkau senang mengampuni hamba-hambaMu karena itu ampunilah dosa-dosaku).''  Semoga, kita dipertemukan dengan malam Lailatul Qadar.