gambar dari : http://mutiara-hikmah.com |
Ya... Alloh berilah kami pertolonganmu dibulan suci ini agar iman dan takwa dihati ini menjadi tebal karenamu.....amin
editor oleh : REPUBLIKA.CO.ID
Kaum wanita
memiliki hak yang sama atau diperbolehkan untuk beri’tikaf pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan. Hal itu telah dicontohkan oleh istri-istri Rasulullah
SAW. Aisyah RA, istri Nabi mengatakan, bahwa Nabi SAW selalu beri'tikaf pada
sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan sehingga Allah mewafatkan
beliau. Setelah itu para istri beliau beri'tikaf sepeninggal beliau. (HR
Bukhari).
Namun, menurut Al-Kubaisi, di
kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat tentang masjid yang menjadi tempat
i'tikaf. ‘’Yang diperselisihkan, apakah masjid jami merupakan syarat mutlak
bagi sahnya i'tikaf kaum wanita?’’ ujar Al-Kubaisi. Ada dua pendapat di
kalangan ulama mengenai hal ini.
Menurut pendapat pertama, dari
jumhur ulama yang mengatakan, tidak sah i'tikaf seorang wanita bila tak
dilakukan di dalam masjid jami. Ketentuan ini, sama dengan yang ditetapkan pada
kaum laki-laki. Pendapat ini didukung oleh Imam Malik, Syafi’i, Imam Ahmad bin
Hambal.
Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah,
mengungkapkan, menurut mayoritas ulama tak sah bagi seorang perempuan yang ber
i'tikaf di masjid (tempat shalat) yang berada di dalam rumah. ‘’Sebab tempat
shalat di dalam rumah tak bisa disebut sebagai masjid,’’ ungkap ulama masyhur
asal Mesir itu.
Selain itu, kata dia, para ulama
juga sepakat bahwa tempat shalat yang berada dalam rumah boleh dijual,
sedangkan masjid tak boleh dijual. Menurut Sayyid Sabiq, dalam salah satu
riwayat disebutkan bahwa para istri Rasulullah ber i'tikaf di dalam Masjid
Nabawi.
Dalil yang menjadi landasan
pendapat pertama, seperti dikemukakan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni.
‘’Bagi kami (dalil untuk memperkuat pendapat tersebut) adalah firman Allah; wa
antum aakifuna fil masaajidi,’’ ujar Ibnu Qudamah. Dalam ayat ini, yang
dimaksud dengan masjid adalah tempat mendirikan shalat. Sedangkan, tempat
shalat di dalam rumah tak bisa disebut sebagai masjid.
Para istri Rasulullah juga
meminta izin kepada beliau untuk ber i'tikaf di dalam masjid dan Nabi SAW
mengizinkannya. Menurut Ibnu Qudamah, kalau masjid-masjid itu bukanlah tempat
i'tikaf bagi wanita, pastilah Rasulullah SAW akan melarangnya. ‘’Atau paling
tidak, bila ada tempat selain masjid yang paling baik bagi kaum wanita untuk
ber i'tikaf, maka pastilah beliau menunjukkannya.’’
Menurut Ibnu Qudamah, dibolehkannya kaum wanita ber i'tikaf di dalam masjid, sebagaimana laki-laki, bisa disamakan dengan bolehnya melakukan thawaf di Baitullah, yang ketika itu antara keduanya diperlakukan sama.
Menurut Ibnu Qudamah, dibolehkannya kaum wanita ber i'tikaf di dalam masjid, sebagaimana laki-laki, bisa disamakan dengan bolehnya melakukan thawaf di Baitullah, yang ketika itu antara keduanya diperlakukan sama.
Sedangkan, pendapat yang kedua
justru memakruhkan wanita ber i'tikaf di dalam masjid jami. Hal itu
didasarkan pada dua hadis. Hadis pertama dari Ibnu Umar yang diriwayatkan Abu
Daud yang sanadnya sesui dengan persyaratan Bukhari. Rasulullah SAW bersabda,
‘’Janganlah kalian larang kaum wanita untuk pergi ke masjid, dan rumah-rumah
mereka lebih baik bagi mereka.’’
Menurut Al-Kubaisi, hadis di atas
menjelaskan tentang lebih baiknya bagi kaum wanita menjalankan shalat di
(mushalla) rumah masing-masing. Tak ada bedanya melakukan shalat dengan
i'tikaf. Sebab, kata dia, para fukaha telah sepakat membolehkan wanita
ber i'tikaf. Sehingga, bolehlah kaum wanita ber i'tikaf di dalam rumahnya. Hal
itu sesuai dengan ucapan Rasulullah SAW, ‘’Dan rumah-rumah mereka lebih baik
bagi mereka.’’
Dalil kedua, hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad sesuai persyaratan Imam Muslim.
Rasulullah SAW bersabda, ‘’Shalatnya seorang wanita di dalam rumahnya adalah
lebih baik baginya ketimbang shalat di kamarnya, dan shalatnya pada ruangan
tertentu dari bagian rumahnya adalah lebih baik baginya ketimbang shalat dalam
rumahnya (yakni di ruang terbuka yang digunakan untuk lewat mondar-mandir).
Imam Malik berkata, ‘’Hadis itu
dengan gamblang menjelaskan kepada kita bahwa pada prinsipnya, Rasulullah SAW
menyatakan shalatnya kaum wanita pada bagian tertentu di dalam rumahnya
(mushalla dalam rumahnya) adalah paling baik dibandingkan shalat di tempat
lain.’’
Analoginya, kata
Al-Kubaisi, jika shalat bagi kaum perempuan lebih utama dilakukan di dalam
rumahnya, maka dalam i'tikaf juga berlaku demikian. Jadi, i'tikaf kaum wanita,
menurut para ulama yang memegang pendapat kedua ini, lebih baik dilakukan
di dalam mushala rumahnya sendiri.
Kelompok mazhab Abu Hanifah
justru malah menyatakan makruh hukumnya kaum wanita ber i'tikaf di dalam
masjid. Maulana Muhammad Al-Kandahlawi dalam Fadhail Ramadhan juga mendukung
pendapat kedua. Menurut dia, hendaknya wanita ber i'tikaf di dalam
mushalla di dalam rumahnya.
‘’Jika tak ada mushala di dalam
rumah, hendaknya disediakan sebuah kamar atau sudut rumah yang khusus untuk
i'tikaf,’’ ujar Al-Kandahlawi. Dengan begitu, kata dia, i'tikaf bagi kaum
perempuan lebih mudah dibandingkan laki-laki, karena mereka cukup duduk di
rumahnya. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan rumah dapat dikerjakan oleh
anak-anaknya dan ia akan tetap memperoleh pahala i'tikaf. Sayangnya, menurut
Al-Kandahlawi, banyak di antara mereka yang tak mengamalkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar